Senin, 12 Desember 2011

Kisah Formalin, si Korban Salah Guna

Formalin. Anda pasti pernah mendengar nama bahan kimia ini. Ya, sama dengan saya, mungkin Anda punya pandangan buruk terhadap formalin jika Anda tahu penggunaan formalin sebagai bahan pengawet mayat. Pandangan negatif tersebut rasanya semakin buruk dengan semakin maraknya kasus makanan yang diawetkan menggunakan formalin ini. Namun, apakah sebegitu buruknya citra formalin di dunia pengetahuan? Berikut kisah formalin yang sering disalahgunakan manusia.

Formalin, yang nama ilmiahnya formaldehid sebenarnya sudah menyertai kehidupan kita sejak berabad-abad yang lalu. Dalam kadar kecil, formaldehid dapat kita temukan di alam sebagai gas. Formaldehid terbentuk dari pembakaran metana dan oksigen yang ada di atmosfer dengan bantuan sinar matahari. Formaldehid memiliki rumus kimia CH2O. Pada suhu kamar, formaldehid berbentuk gas dengan bau menusuk. Agar mudah digunakan, biasanya formaldehid dilarutkan di dalam air dengan kadar 30 – 40%. Larutan inilah yang sehari-hari kita kenal sebagai formol atau formalin .

Formaldehid menjadi perhatian sejak tahun 1859, saat itu Alexander Mikhailovich Butlerov, seorang ahli kimia berkebangsaan Rusia, secara tidak sengaja menemukan senyawa ini dalam sebuah eksperimennya. Namun metode pembuatan formaldehid sendiri baru ditemukan pada tahun 1868 oleh August Wilhelm Hofmann, seorang ahli kimia Jerman.

Manfaat awal formaldehid yang diketahui manusia adalah sebagai disinfektan dan pembasmi kuman. Selanjutnya, ketika para ahli anatomi mengetahui manfaat formaldehid sebagai pengawet mayat dengan cara menyuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri, popularitasnya semakin tinggi. Penemuan fungsi formaldehid sebagai pengawet mayat memudarkan pamor minyak tetumbuhan, garam merkuri, dan arsenik yang biasa dipakai sebagai pengawet mayat sejak zaman Firaun. Selain itu, penemuan fungsi ini juga bermanfaat saat terjadi perang, di mana jenazah serdadu yang gugur dapat diawetkan agar tidak rusak hingga dibawa pulang.

Di mulai dengan penemuan formaldehid sebagai bahan pembuatan plastik sintesis oleh ilmuwan Belgia, Leo H. Baekeland, penemuan demi penemuan terus melengkapi manfaat formaldehid buat umat manusia. Hingga saat ini formaldehid dipakai di hampir semua barang keperluan sehari-hari, mulai dari plastik, kaca, lem, cat, pupuk, penyamak kulit, pengawet kayu, pengawet vaksin, obat penyakit kulit, film kamera, pewarna, hingga pasta gigi. Pendek kata, formaldehid tak bisa dipisahkan dari urusan kehidupan manusia.

Tidak hanya fungsi positif, formaldehid pada akhirnya 'terjerumus' ke dalam dunia hitam ketika mulai dipakai sebagai pengawet bahan makanan. Alasan para penyalahguna formaldehid ini jelas: harganya yang murah dan keampuhannya membunuh dalam bakteri pembusuk. Seiring dengan beragamnya produk bermanfaat yang menggunakan formaldehid, penggunaan formaldehid sebagai pengawet makanan juga semakin beragam. Tidak hanya bakso, saat ini di Indonesia penggunaan formaldehid mulai merambah berbagai macam produk makanan lainnya macam tahu, daging, mie, ikan, bahkan makanan ringan yang sering dikonsumsi anak-anak. Hal ini sebenarnya sangat dilarang oleh seluruh badan kesehatan di dunia karena sifatnya yang toksik. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya paparan dalam jangka waktu panjang di dalam tubuh manusia, bisa membuat jaringan dan sel-selnya cepat mengalami kematian.

Nah, itulah perjalanan panjang si formaldehid yang citranya sebagai zat yang berbahaya terbangun karena ulah manusia sendiri. Bagaimanapun, jika menilik sifatnya yang toksik, sudah selayaknya kita menghindari formaldehid terpapar dalam jumlah dan waktu yang banyak, agar tubuh kita tetap 'awet'...

Tidak ada komentar: